INFLENZA
BAB II
PEMBAHASAAN
2.1 Definisi
Influenza merupakan anonim dari flue atau common cold . influenza merupakan infeksi saluran nafas atas yang disebabkan oleh virus yang menjangkiti pasien pada semua tinggkat usia. Istilah common cold lebih menjelaskan suatu kompleks gejala pada suatu peyakit tertentu , yang memiliki ciri seperti hidung tersumbat( nasal congestion ) , suara serak ( sore throat) dan batuk. ( buku askep sistem pernafasan, irman sumantri penerbit erlangga tahun2008)
Influenza, yang lebih dikenal dengan sebutan flu, merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus RNA dari famili Orthomyxoviridae(virus influenza), yang menyerang unggas dan mamalia. Gejala yang paling umum dari penyakit ini adalah menggigil, demam, nyeri tenggorok, nyeri otot, nyeri kepala berat, batuk, kelemahan, dan rasa tidak nyaman secara umum.
Influenza adalah infeksi virus yang menyerang sistem pernapasan, termasuk hidung, tenggorokan, cabang tenggorokan dan paru-paru.
2.2 Anatomi fisiologi
a. Nares Anterior
Nares anterior adalah saluran – saluran di dalam lubang hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum (rongga) Hidung. Vestibulum ini dilapisi epitelium bergaris yang bersambung dengan kulit. Lapisan nares anterior memuat sejumlah kelenjar sebaseus yang ditutupi bulu kasar. Kelenjar-kelenjar itu bermuara ke dalam rongga hidung.
b. Rongga Hidung
Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, bersambung dengan lapisan faring dan selaput lendir semua sinus yang mempunyai lubang yang masuk ke dalam rongga hidung. Hidung Berfungsi: penyaring, pelembab, dan penghangat udara yang dihirup. Septum nasi memisahkan kedua cavum nasi. Struktur ini tipis terdiri dari tulang dan tulang rawan, sering membengkok kesatu sisi atau sisi yang lain, dan dilapisi oleh kedua sisinya dengan membran mukosa. Dinding lateral cavum nasi dibentuk oleh sebagian maxilla, palatinus, dan os. Sphenoidale. Tulang lengkung yang halus dan melekat pada dinding lateral dan menonjol ke cavum nasi adalah : conchae superior, media, dan inferior. Tulang-tulang ini dilapisi oleh membrane mukosa.
Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale dan os palatinus sedangkan atap cavum nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius.
Sinus paranasalis adalah ruang dalam tengkorak yang berhubungan melalui lubang kedalam cavum nasi, sinus ini berfungsi : memperingan tulang tengkorak, memproduksi mukosa serosa dan memberikan resonansi suara. Sinus ini juga dilapisi oleh membrana mukosa yang bersambungan dengan cavum nasi. Lubang yang membuka kedalam cavum nasi :
1. Lubang hidung
2. Sinus Sphenoidalis, diatas concha superior
3. Sinus ethmoidalis, oleh beberapa lubang diantara concha superior dan media dan diantara concha media dan inferior
4. Sinus frontalis, diantara concha media dan superior
5. Ductus nasolacrimalis, dibawah concha inferior. Pada bagian belakang, cavum nasi membuka kedalam nasofaring melalui appertura nasalis posterior.
c. Faring
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan oesopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka letaknya dibelakang hidung (nasofaring) dibelakang mulut (orofaring) dan dibelakang laring (faring-laringeal)
d. Laring
Laring (tenggorokan) terletak didepan bagian terendah faring yang memisahkannya dari kolumna vertebra. Berjalan dari faring sampai ketinggian vertebrae servikalis dan masuk ke dalam trakea dibawahnya. Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligamen dan membran. Yang terbesar diantaranya ialah tulang rawan tiroid, dan disebelah depannya terdapat benjolan subkutaneas yang dikenal sebagai jakun, yaitu disebelah depan leher. Laring terdiri atas dua lempeng atau lamina yang bersambung di garis tengah. Di tepi atas terdapat lekukan berupa V. Tulang rawan krikoid terletak dibawah tiroid, berbentuk seperti cincin mohor dengan mohor cincinnya disebelah belakang ( ini adalah tulang rawan satu-satunya yang berbentuk lingkaran lengkap). Tulang rawan lainnya ialah kedua tulang rawan aritenoid yang menjulang disebelah belakang krikoid., kanan dan kiri tulang rawan kuneiform, dan tulang rawan kornikulata yang sangat kecil.
Terkait di puncak tulang rawan tiroid terdapat epiglotis, yang berupa katup tulang rawan dan membantu menutup laring sewaktu menelan. Laring dilapisi jenis selaput lendir yang sama dengan yang di trakea, kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi sel epitelium berlapis.
Pita Suara terletak disebelah dalam laring, berjakan dari tulang rawan tiroid di sebelah depan sampai dikedua tulang rawan aritenoid. Dengan gerakan dari tulang rawan aritenoid yang ditimbulkan oleh berbagai otot laringeal, pita suara ditegangkan atau dikendurkan. Dengan demikian lebar sela-sela anatara pita-pita atau rima glotis berubah-ubah sewaktu bernapas dan berbicara.
Suara dihasilkan karena getaran pita yang disebabkan udara yang melalui glotis. Berbagai otot yang terkait pada laring mengendalikan suara, dan juga menutup lubang atas laring sewaktu menelan.
e. Trakea
Trakea atau batang teggorokan kira-kira 9 cm panjangnya. Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis kelima dan ditempat ini bercabanf menjadi dua bronkus (bronki). Trakea tersusun atas 16 sampai 20 lingkaran tak sempurna lengkap berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trakea; selain itu juga memuat beberapa jaringan otot. Trakea dilapisi selaput lendir yang terdiri atas epitelium bersilia dan sel cangkir. Silia ini bergerak menuju keatas ke arah laring, maka dengan gerakan ini debu dan butir-butir halus lainnya yang turut masuk bersama dengan pernapasan dapat dikeluarkan. Tulang rawan berfungsi mempertahankan agar trakea tetap terbuka; karena itu, disebelah belakngnya tidak bersambung, yyaitu di tempat trakea menempel pada esofagus, yang memisahkannya dari tulang belakang.
Trakea servikalis yang berjalan melalui leher disilang oleh istmus kelenjar tiroid, yaitu belahan kelenjar yang melingkari sisi-sisi trakea. Trakea torasika berjalan melintasi mediastenum (lihat gambar 5), di belakang sternum, menyentuh arteri inominata dan arkus aorta. Usofagus terletak dibelakang trakea.
2.3 Etiologi
Penyebab dari influenza adalah virus influenza. Ada tiga tipe yakni tipe A, B dan C. Ketiga tipe ini dapat dibedakan dengan complement fixation test.
Jenis-jenis influenza
a. Virus Tipe A
Genus ini memiliki satu spesies, virus influenza A. Unggas akuatik liar merupakan inang alamiah untuk sejumlah besar varietas influenza A. Kadangkala, virus dapat ditularkan pada spesies lain dan dapat menimbulkan wabah yang berdampak besar pada peternakan unggas domestik atau menimbulkan suatu pandemi influenza manusia.
Virus tipe A merupakan patogen manusia paling virulen di antara ketiga tipe influenza dan menimbulkan penyakit yang paling berat. Virus influenza A dapat dibagi lagi menjadi subdivisi berupa serotipe-serotipe yang berbeda berdasarkan tanggapan antibodi terhadap virus ini. Serotipe yang telah dikonfirmasi pada manusia, diurutkan berdasarkan jumlah kematian pandemi pada manusia, adalah:
1. H1N1, yang menimbulkan Flu Spanyol pada tahun 1918, dan Flu Babipada tahun 2009
3. H3N2, yang menimbulkan Flu Hongkong pada tahun 1968
4. H5N1, yang menimbulkan Flu Burung pada tahun 2004H7N7, yang memiliki potensi zoonotik yang tidak biasa
b. Virus Tipe B
Genus ini memiliki satu spesies, yaitu virus influenza B. influenza B hampir secara eksklusif hanya menyerang manusia dan lebih jarang dibandingkan dengan influenza A. Hewan lain yang diketahui dapat terinfeksi oleh infeksi influenza B adalah anjing laut dan musang. Jenis influenza ini mengalami mutasi 2-3 kali lebih lambat dibandingkan tipe A dan oleh karenanya keragaman genetiknya lebih sedikit, hanya terdapat satu serotipe influenza B. Karena tidak terdapat keragaman antigenik, beberapa tingkatkekebalan terhadap influenza B biasanya diperoleh pada usia muda. Namun, mutasi yang terjadi pada virus influenza B cukup untuk membuat kekebalan permanen menjadi tidak mungkin. Perubahan antigen yang lambat, dikombinasikan dengan jumlah inang yang terbatas (tidak memungkinkanperpindahan antigen antarspesies), membuat pandemi influenza B tidak terjadi.
c. Virus Tipe C
Genus ini memiliki satu spesies, virus influenza C, yang menginfeksi manusia, anjing, dan babi, kadangkala menimbulkan penyakit yang berat dan epidemi lokal. Namun, influenza C lebih jarang terjadi dibandingkan dengan jenis lain dan biasanya hanya menimbulkan penyakit ringan pada anak-anak.
Virus penyebab influenza merupakan suatu orthomyxovirus golongan RNA. Struktur antigenik virus influenza meliputi antara lain 3 bagian utama yaitu : Antigen S (soluble Antigen), hemaglutinin dan Neuramidase. Antigen S merupakan suatu inti partikel virus yang terdiri atas ribonuldeoprotein. Antigen ini spesifik untuk masing-masing tipe. Hemaglutinin dan neuramidase berbentuk seperti duri dan tampak menonjol pada permukaan virus. Hemaglutinin diperlukan untuk lekatnya virus pada membran sel penjamu sedangkan neuromidase diperlukan untuk pelepasan virus dari sel yang terinfeksi.
2.4 Patofisiologi
Virus influenza A, B dan C masing-masing dengan banyak sifat mutagenik yang mana virus tersebut dihirup lewat droplet mukus yang terarolisis dari orang-orang yang terinfeksi. Virus ini menumpuk dan menembus permukaan mukosa sel pada saluran napas bagian atas, menghasilkan sel lisis dan kerusakan epithelium silia. Neuramidase mengurangi sifat kental mukosa sehingga memudahkan penyebaran eksudat yang mengandung virus pada saluran napas bagian bawah.
Di suatu peradangan dan nekrosis bronchiolar dan epithelium alveolar mengisi alveoli dan exudat yang berisi leukosit, erithrosit dan membran hyaline. Hal ini sulit untuk mengontrol influenza sebab permukaan sel antigen virus memiliki kemampuan untuk berubah. Imunitas terhadap virus influenza A dimediasi oleh tipe spesifik immunoglobin A (lg A) dalam sekresi nasal. Sirkulasi lg G juga secara efektif untuk menetralkan virus. Stimulus lg G adalah dasar imunisasi dengan vaksin influenza A yang tidak aktif.
Setelah nekrosis dan desquamasi terjadi regenerasi epithelium secara perlahan mulai setelah sakit hari kelima. Regenerasi mencapai suatu maximum kedalam 9 sampai 15 hari, pada saat produksi mukus dan celia mulai tamapk. Sebelum regenerasi lengkap epithelium cenderung terhadap invasi bakterial sekunder yang berakibat pada pneumonia bakterial yang disebabkan oleh staphiloccocus Aureus.
Penyakit pada umumnya sembuh sendiri. Gejala akut biasanya 2 sampai 7 hari diikuti oleh periode penyembuhan kira-kira seminggu. Penyakit ini penting karena sifatnya epidemik dan pandemik dan karena angka kematian tinggi bersama sekunder. Resiko tinggi pada orang tua dan orang yang berpenyakit kronik.
2.6 Manifestasi klinis
Gejala influenza dapat dimulai dengan cepat, satu sampai dua hari setelah infeksi. Biasanya gejala pertama adalah menggigil atau perasaan dingin, namun demam juga sering terjadi pada awal infeksi, dengan temperatur tubuh berkisar 38-39 °C (kurang lebih 100-103 °F). Banyak orang merasa begitu sakit sehingga mereka tidak dapat bangun dari tempati tidur selama beberapa hari, dengan rasa sakit dan nyeri sekujur tubuh, yang terasa lebih berat pada daerah punggung dan kaki. Gejala influenza dapat meliputi:
1. Demam dan perasaan dingin yang ekstrem (menggigil, gemetar).
2. Batuk
3. Sumbatan hidung
4. Nyeri tubuh, terutama sendi dan tenggorok
5. Kelelahan
6. Nyeri kepala
7. Iritasi mata, mata berair
8. Mata merah, kulit merah (terutama wajah), serta kemerahan pada mulut, tenggorok, dan hidung
Pada anak, gejala gastrointestinal seperti diare dan nyeri abdomen(dapat menjadi parah pada anak dengan influenza B)
2.7 Penatalaksanaan
Untuk influensa yang belum berkomplikasi, harap beristirahat dengan cukup di rumah agar tidak menjadi bertambah parah. Mungkin dibutuhkan waktu sekitar 2 hari setelah demam berlalu. Bisa menggunakan obat flu yang dibeli bebas. Kalau flu sudah terkomplikasi dengan infeksi bakteri, dokter akan meresepkan antibiotika.
2.8 Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis influenza secara klinis tidak mudah ditegakkan karena gejala klinis influenza mirip dengan gejala klinis infeksi virus lain pada saluran pernafasan.(Monto AS,2000)
Diagnosis dini dan pengobatan yang tepat dapat mempercepat penyembuhan penyakit. Baku emas diagnostik influenza adalah kultur virus atau RT-PCR, yang memerlukan waktu yang lama (kultur virus influenzamembutuhkan waktu 3-10 hari, sedangkan RT-PCR 6-8 jam) serta biaya yang cukup mahal.(CDC 2009, Grijalva CG,2007) Alat diagnostik influenza yang sederhana, cepat dan mudah dikerjakan sangat dibutuhkan. Terapi antivirus yang spesifik lebih efektif bila diberikan pada awal perjalanan
penyakit influenza. Rapid test merupakan alat diagnostik yang sederhana , cepat dan mudah dikerjakan, memberikan hasil dalam waktu 15-30 menit Pemeriksaan ini secara luas digunakan untuk diagnosis influenza di rumah sakit pendidikan, praktek dokter dan laboratorium.(Kelly H,2004, CDC 2009, Watts C,2003) Ada 3 tipe rapid test untuk influenza: 1. Point-of-care test, 15-30 menit, sensitivitas : 59-93% dan spesifisitas : 76-100%,
2. Influenza immunofluorescence assays, 2-4 jam, sensitivitas 70-90% dan spesifisitas : >90%,
3. Nucleic acid test, 2-4 jam, sensitivitas dan spesifisitas hampir 100%.Rapid test yang
digunakan adalah menggunakan Point-of-care test ,
dapat mendeteksi nukleoprotein influenza tipe A dan B menggunakanantibodi monoklonal anti nukleoprotein virus Influenza tipe A dan B.(Foo H,2009, CDC,2009)
2.9 Komplikasi
Secara umum, komplikasi yang sering ditimbulkan dari influenza adalah infeksi saluran nafas (bronkitis) dapat terjadi karana adanya virus dan paru-paru (pneumonia) oleh bakteri.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1.Kepala dan Leher
Observasi :
a. Memungkinkan adanya konjungtivitis.
b. Wajah memerah.
c. Kemungkinan adanya lymphadenopathy cervival anterior.
d. Sakit kepala, photophobia dan sakit retrobulbar
2.Pernafasan
Observasi :
a. Mulanya ringan : sakit tenggorokan; substernal panas; batuk nonproduktif; coryza.
b. Kemudian : batuk keras dan produktif; erythema pada langit-langit yang lunak,langit- langit yang keras bagian belakang, hulu kerongkongan/tekak bagian belakang, peningkatkan RR, rhonchi dan crackles.
3.Abdominal
Observasi : Anorexia dan malaise (rasa tidak enal badan).
4.Neurologi
Observasi : Myalgia khususnya pada punggung dan kaki.
e. Suhu tubuh
Observasi : Tiba-tiba serangan demam (380 hingga 390C <>0 hingga 1030F) yang secara bertahap turun dan naik lagi pada hari ketiga
3.2 Diagnosa
1. Inefektif perubahan jalan napas b.d obstruksi brhonchial.
2. Gangguan pola nafas b.d adanya secret yang menumpuk.
3. Hipertermi b.d proses inflamatory.
3.3 Intervensi
Dx 1: Inefektif perubahan jalan napas b.d obstruksi brhonchial.
Tujuan : Jalan udara pasien akan menjadi tetap dengan bunyi napas jelas.
Kriteria hasil :
Jalan napas bersih dan pernapasan berlangsung tanpa hambatan. Tidak ada batuk. Bunyi napas jelas.
Intervensi
|
Rasional
|
1. Auskultasi paru-paru untuk rhonchi dan crackles.
2. Kaji karakteristik sekret : kuantitas, warna, konsistensi, bau.
3. Kaji status hidrasi pasien: turgor kulit, mukosa membran, lidah, intake dan output selama 24 jam, hematocrit.
4. Bantu pasien dengan membatuk bila perlu.
5. Posisi pasien berada pada body aligment yang benar untuk pola napas optimal (kepala tempat tidur 450, jika ditoleransi 900).
6. Menjaga lingkungan bebas allergen (misal debu, bulu unggas, asap) menurut kebutuhan individu.
7. Tingkatkan kelembaban ruangan dengan dingin ringan.
8. Berikan decongestans (NeoSynephrine) seperti pesanan.
9. Mendorong meningkatkan intake cairan dari 1 ½ sampai 2 l/hari kecuali kontradiksi.
|
1. Menentukan kecukupan pertukaran gas dan luasan jalan napas terhalangi oleh sekret.
2. Adanya infeksi yang dicurigai ketika sekret tebal, kuning atau berbau busuk.
3. Menentukan kebutuhan cairan. Cairan dibutuhkan jika turgor kulit jelek. Mukosa membran output, hematocrit tinggi.<lidah dan kering, intake.
4. Membatuk mengeluarkan sekret.
5. Sekresi bergerak oleh gravitasi selagi posisi berubah. Meninggikan kepala tempat tidur menggerakan isi abdominal menjauhi diaphragma untuk meningkatkan kontraksi diaphragmatis.
6. Sekresi bergerak oleh gravitasi selagi posisi berubah. Meninggikan kepala tempat tidur menggerakan isi abdominal menjauhi diaphragma untuk meningkatkan kontraksi diaphragmatis.
7. Melembabkan dan menipiskan sekret guna memudahkan pengeluarannya.
8. Memudahkan pernapasan melalui hidung dan cegah kekeringan membran mukosa oral.
9. Mencairkan sekret sehingga lebih mudah dikeluarkan.
|
Dx 2 : Gangguan pola nafas b.d adanya secret yang menumpuk.
Tujuan : Jalan nafas efektif setelah sekret dikeluarkan
Kriteria Hasil :
1. Klien tidak bernafas lagi melalui mulut
2. Jalan nafas kembali normal terutama hidung
Intervensi
|
Rasional
|
1. Kaji penumpukan secret yang ada.
2. Observasi tanda-tanda vital.
3. Kolaborasi dengan tim medis
|
1. Mengetahui tingkatkeparahan dan tindakan selanjutnya.
2. Mengetahui perkembangan klien sebelum dilakukan operasi.
3. Kerjasama untuk menghilangkan obat yang dikonsumsi
|
Dx 3: hipertermi b.d inflamatory.
Tujuan: suhu tubuh pasien akan berada dalam batas normal
Kriteria Hasil : Suhu tubuh normal 380C (98,60F).
Intervensi
|
Rasional
|
1. Ukur temperatur tubuh.
2. Kaji temperatur kulit dan warna.
3. Monitor jumlah WBC.
4. Ukur intake dan output.
5. Berikan antipiyretic seperti dipesan.
|
1. Menunjukkan adanya demam dan luasannya.
2. Hangat, kering, kulit memerah menunjukkan suatu demam.
3. Indikasi leukopenia dibutuhkan untuk melindungi pasien dari infeksi tambahan. Leukocytosis menujukkan suatu inflamatory atau adanya proses infeksi.
4. Tentukan keseimbangan cairan dan perlu meningkatkan intake.
5. Kurangi demam melalui tindakan pada hypothalmus.
|
3.4 Implementasi
Dx 1 : Inefektif perubahan jalan napas b.d obstruksi brhonchial.
Implementasi :
1. mengauskultasi paru-paru untuk rhonchi dan crackles.
2. mengkaji karakteristik sekret : kuantitas, warna, konsistensi, bau.
3. mengkaji status hidrasi pasien: turgor kulit, mukosa membran, lidah, intake dan output selama 24 jam, hematocrit.
4. membantu pasien dengan membatuk bila perlu.
5. memposisikan pasien berada pada body aligment yang benar untuk pola napas optimal (kepala tempat tidur 450, jika ditoleransi 900).
6. menjaga lingkungan bebas allergen (misal debu, bulu unggas, asap) menurut kebutuhan individu.
7. meningkatkan kelembaban ruangan dengan dingin ringan.
8. memberikan decongestans (NeoSynephrine) seperti pesanan.
9. mendorong meningkatkan intake cairan dari 1 ½ sampai 2 l/hari kecuali kontradiksi.
Dx 2 : Gangguan pola nafas b.d adanya secret yang menumpuk.
Implementasi :
1. mengkaji penumpukan secret yang ada.
2. mengobservasi tanda-tanda vital.
3. Melakukan kolaborasi dengan tim medis.
Dx 3 : Hyperthermia b.d proses inflamatory.
1. Mengukur temperatur tubuh.
2. Mengkaji temperatur kulit dan warna.
3. Memonitor jumlah WBC.
4. Mengukur intake dan output.
5. Memberikan antipiyretic seperti dipesan.
3.5 Evaluasi
Dx 1 :
S : Klien mengatakan sudah bisa bernafas dengan baik dan tidak batuk lagi.
O : Klien tampak bernafas dengan normal, bunyi napas klien sudah tampak jelas.
A : Intervensi tercapai.
P : Intervensi dipertahankan.
Dx 2 :
S : Klien mengatakan tidak lagi bernafas melalui mulut.
O : Klien tampak bernafas dengan normal.
A: Intervensi tercapai .
P : -
Dx 3:
S : klien mengatakan demam yang di rasakan telah berkurang
O: klien tidak mengalami demam
A: intervensi brhasil
P: intervensi di hentikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar